Rabu, 02 Februari 2011

Bocah Penyemir Sepatu

"Semir sepatunya, Bu," ujar bocah kecil ringkih itu begitu aku memasuki pekarangan kantor. Tubuhnya terbalut baju kaos lusuh garis-garis bewarna merah jambu. Bercak-bercak putih menghiasi wajahnya. Aku menatap sejenak, kemudian mengiyakan permintaannya. Kubuka sepatuku dan duduk di teras samping aula, memandanginya membuka tutup semir hitam, dan mulai bekerja dengan sepatuku. Merasa dipandangi, iya balas menatapku, kemudian tersenyum.

"Kita sudah pernah bertemu kan, Bu? Waktu pameran di Sabang Fair? Kita sama-sama buat tatto? Ibu masih ingat?" ujarnya mencecarku dengan pertanyaan. Aku tertawa. Ya, tentu saja aku masih mengingatnya. Akhir tahun lalu, larut malam itu kami sama-sama antri menunggu tangan kami dihias dengan inai. Seingatku, bocah itu membuat tatto ular sepanjang setengah lengan kirinya. Ia sendirian saat itu, ditinggal pergi oleh teman-temannya.

"Namamu siapa?" tanyaku lagi.

"Misral," jawabnya singkat sambil terus menyemir sepatuku. Adegan semir menyemir itu menyita perhatian beberapa temanku yang lain, dan segera saja permintaan untuk menyemir beberapa pasang sepatu membanjirinya.

"Kamu tak pulang lagi sejak terakhir kita bertemu, ya?"

"Tidak, Bu. Saya tinggal di sini, menginap di kapal BRR. Kalau pagi saya turun ke kota, menyemir sepatu ke kantor-kantor, sore baru balik lagi ke Balohan."

"Bayar ongkos mobil tidak?"

"Tidak, Bu, tidak bayar ongkos mobil. Saya turun di Simpang Garuda, lalu jalan kaki keliling kota."

"Makanmu bagaimana?"

"Kadang-kadang dibelikan oleh awak kapal, Bang Rizki namanya. Kadang beli sendiri, dari uang hasil menyemir sepatu."

Aku memandang bocah itu iba. Seharusnya dia berada di sekolah saat ini, belajar bersama teman-temannya, bukannya disini, di pekarangan kantor menyemir sepatuku. Aceh memiliki dana pendidikan yang begitu banyak, dan bocah ini tidak sekolah! Dari postur tubuhnya, dia sebaya dengan putraku.

"Malam pertama kita bertemu itu, malam itu kamu menginap dimana?" aku bertanya penuh rasa ingin tahu.

"Saya pulang ke Balohan, Bu. Sendiri."

"Loh, tapi gak ada kendaraan lagi, kan?"

"Iya, Bu. Dari Sabang Fair saya berjalan kaki sendirian ke Balohan. Jam 4 pagi baru sampe." Ia menyeringai lebar, melihat ekspresi kagetku.

"Teman-temanmu mana?" Setahuku dia datang satu rombongan.

"Sudah pulang ke Banda, Bu, menjadi pengamen. Lebih baik mengamen dan menyemir sepatu dari pada menjadi pengemis." Aku terbayang para pengemis dewasa, sehat, yang kerap kujumpai di Pelabuhan Ulee Lheue. Terkadang mereka singgah di kantorku juga. Bocah ini tidak mau menadahkan tangan tanpa bekerja.

"Rumahmu sebenarnya dimana sih?"

"Di Lamtamot, Bu. Seulimum."

"Besok kita berangkat ya ke Banda? Kamu pulang ya, ke rumah? Biar Ibu yang antar. Masih punya keluarga, kan?"

"Gak mau, Bu. Saya pulang hari Minggu. Saya harus kerja dulu, biar bisa bawa pulang uang ke rumah. Iya, saya masih punya Ibu, juga kakak dan adik. Kami enam bersaudara." Duh! Eksploitasi anak, itu yang ada dalam pikiranku.

"Lalu sekolahmu bagaimana? Berapa usiamu?"

"14 tahun, Bu. Saya tidak sekolah. Seharusnya saya sudah duduk di bangku SMP sekarang. Tapi saya tidak punya uang untuk sekolah."

Hatiku langsung merapal makian panjang terhadap penguasa. Dibawa kemana dana pendidikan itu! Bagaimana mau membangun Aceh bila generasi penerusnya berkeliaran di jalan dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak? Siapa yang akan memimpin Aceh ke depan?

"Sudah selesai, Bu. Lima ribu," sambil menyerahkan sepasang sepatuku yang sudah mengkilap. Seorang teman datang dan bocah itu mulai sibuk bekerja lagi.

"Besok kita pulang ke Banda, ya," bujukku lagi. "Nanti Ibu carikan sekolah untukmu. Kita ke Fajar Hidayah, Ibu punya kenalan di sana." Aku juga bersikap keras kepala seperti dirinya. Teringat olehku, Fajar Hidayah menampung anak yatim dan korban tsunami untuk bersekolah di sana, gratis. Mendengarkan aku menyebut 'Fajar Hidayah' seketika gerakannya berhenti, lalu menatapku keherananan.

"Fajar Hidayah di Blang Bintang? Ibu kenal dengan Ustad Rahmad?"

"Iya, Fajar Hidayah yang di Blang Bintang. Kenapa?"

"Saya pernah sekolah di sana, Bu. Bu, jangan telpon Ustad Rahmad, ya. Jangan antar saya kesana. Saya tidak mau. Saya takut."

"Kamu pernah menjadi murid Fajar Hidayah?" tanyaku tak percaya. "Kamu takut sama siapa? Ustad Rahmad?"

"Iya, saya sekolah sampai kelas IV disana. Tapi saya takut, bukan sama Ustad Rahmad. Saya takut sama anak-anak Gayo. Mereka suka memukul saya."



Perkelahian bocah-bocah kecil. Semua bocah di seluruh dunia begitu, tidak di rumah, tidak di sekolah, itu selalu saja terjadi. Tapi sayang kalau alasan itu membuat ia berhenti bersekolah.

"Ustad Rahmat juga pernah memukulmu?"

"Iya, karena kami berkelahi. Setelah itu saya berhenti, dan melanjutkan sekolah di SD Panca. Masuk kls V sampai tamat."

"Kenapa tidak coba jelaskan saja penyebabnya, kenapa sampai berkelahi?" tanyaku lagi. Ia diam, tidak menjawab apapun, dan melanjutkan pekerjaannya lagi.

Kutunggu sampai ia selesai, lalu kuajak ia naik ke lantai 2, ke ruanganku, Bagian Hukum dan HAM. Kuajak ia duduk di sampingku. Ia memperhatikan dengan penuh minat saat aku membuka laptop, dan mengetikkan namanya di lembar kerja.

"Siapa nama ibumu?"

"Nuraini."

"Nama Ayah?"

"Tengku Mahmuddin." Ia memperhatikan aku mengetik, memastikan aku tak salah mengeja nama.

"Namamu Misral, tempat dan tanggal lahir?"

"Gak tau, Bu. Saya lahir di Lamtamot, tahun 1997"

"Saudaramu enam orang, benar? Siapa saja?"

"Kak Yanti sudah menikah dan tinggal di Nisam. Kak Erni sudah menikah dan tinggal di Lamteuba. Yang ketiga Bang Midyazi, lalu Kak Erni. Kak Erni tinggal di Jantho, suaminya satpam. Saya anak kelima, dan yang terkecil Rian. Yang sudah menikah tinggal pisah, bersama suaminya. Jadi hanya tinggal anak laki-laki bersama ibu.

"Ayahmu masih hidup?"

"Tidak, Bu. Meninggal."

"Kapan?"

"Waktu konflik."

"Ditembak?"

"Ya, Bu."

"Apakah ayahmu pejuang? Ikut berperang? Mengangkat senjata?"

"Bukan, Bu. Ayah petani. Ditembak oleh tentara karena ayah tidak bisa berbahasa Indonesia." Ia membuang muka, menatap ke atas, berusaha menyembunyikan air mata. Bocah kecil lusuh itu berusaha bersikap tegar di hadapanku. Aku merasa perutku ditonjok keras-keras. Bocah ini mempunyai kehidupan yang keras.

"Kalian melihat saat kejadian itu berlangsung?"

"Tidak. Kami sedang ke pasar. Hanya ibu yang berada di rumah." Ia agak gelisah, jadi kuhentikan pertanyaan tentang ayahnya. Kutawari segelas teh panas, dan ia menolak dengan sopan. "Sudah duluan makan dan minum di kantin," jawabnya.

"Ibumu bekerja?" tanyaku mengalihkan pembicaraan tentang ayahnya. Kenangan itu pasti tidak menyenangkan untuk bocah seusia dia.

"Iya. Ibu kerja di kebun orang. Memetik jagung."

"Berapa sih penghasilanmu dari menyemir sepatu?" tanyaku ingin tahu.

"Biasanya sehari Rp. 60.000,-. Saya kumpulkan,saya titip dengan abang-abang yang kerja di PM. Setiap hari abang itu datang ke Balohan. Tiap hari minggu saya pulang. Kasih untuk ibu Rp. 500.000,- Minggu lalu saya bisa kasih untuk ibu Rp. 800.000,- Di kampung tinggal 5 hari, lalu balik lagi ke Sabang. Di sana saya membantu memetik jagung dan menyemir juga." Hatiku terenyuh, bocah ini harus menghidupi ibu dan adiknya. Mengabaikan pendidikannya, mengabaikan masa indah kanak-kanak, mesti hidup di jalanan yang keras dan berbahaya. Rawan penculikan atau pelecehan sexual. Bisa dijadikan ATM berjalan bagi mafia.

Aku tak tahan lagi.

"Ikut Ibu saja mau? Tinggal di rumah Ibu. Nanti Ibu sekolahkan bersama anak-anak ibu. Biar Ibu yang tanggung semua kebutuhan kamu."

"Gak mau, Bu."

"Tapi kamu harus sekolah. Sekolah itu penting. Semua anak Aceh harus sekolah. Di sekolah kamu akan mendapatkan ilmu, akan mendapatkan banyak teman."

"Gak bisa, Bu. Ijazah SD saya terbakar. Rumah saya terbakar." Aku kaget sampai tak menanyakan penyebab rumahnya terbakar dan apakah mereka kemudian tinggal di rumah yang baru atau di bekas rumah yang lama.

"Itu bisa diurus. Biar kita urus, kita pulang ke Seulimum besok."

"Saya tak punya uang untuk sekolah, Bu."

"Sampai SMP, biaya pendidikan ditanggung oleh Pemerintah. Dapat buku. Dapat seragam dan peralatan sekolah," aku masih berusaha membujuk.

"Gak, Bu. Nanti juga diminta biaya ini itu," sekali lagi dia menggeleng. Lalu pamit, mau ke Polres Sabang. Menyemir sepatu lagi.

Entah sampai kapan bocah itu akan bertahan di pulauku.

Note: Pasca tsunami, walaupun bantuan dana mengalir cukup deras ke Aceh, demikian juga dengan besarnya plot anggaran untuk pendidikan dan pengentasan kemiskinan, masih banyak bocah-bocah lainnya yang bernasib sama seperti Misral. Bocah kecil, yatim piatu, korban konflik, tidak sekolah, yang harus bertahan hidup semampu mereka. Kesenjangan ekonomi sosial seperti inilah yang akan menyulut konflik baru di Aceh. Pemerintah Aceh seharusnya lebih tanggap.

The Island, Feb. 2, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar