Selasa, 16 Maret 2010

Jangan Lagi Kau Marah

Kekasih, kerinduan sepenuh dada membuncah padamu fajar tadi. Kubuka mataku sambil menyebut namamu dengan perlahan, sepenuh harap minta kau mandikan. Kuminta engkau membasuhku sebagaimana pertama kali engkau melihat diriku, polos dan bersih. Kuberbisik manja di telingamu agar engkau berbaik hati menyiramiku dengan tetesan embun yang melekat di hijaunya dedaunan, menyelimutiku dengan putihnya salju, dan membelaiku dalam rinai gerimis yang manis.

Aku harap engkau tak lagi marah padaku. Aku tahu, aku telah melakukan sesuatu yang menyulut murkamu. Aku tahu aku sering lalai, nakal, sering membuatmu kesal. Tapi jangan kau palingkan wajahmu dariku. Mau ya, maafin aku? Karena aku takkan pernah lelah meminta maaf, seperti juga engkau yang tak pernah bosan mendengarkan celotehanku yang tiada habisnya dan berderet kesalahannya.

Temani aku ke pantai sore ini, yuk. Jangan pernah lagi tinggalkan aku. Ingin kularungkan semua duka nestapaku dalam perahumu. Aku tahu, perahumu selalu ada pada setiap pulau, pada setiap pelabuhan, pada setiap pantai, dengan atau tanpa jembatan. Itu mudah saja bagimu. Semudah engkau kendalikan perahu perahu itu tanpa nakhoda, melayari samudera kehidupan.

Pinjami aku bahumu, ya. Aku agak letih setelah seharian mencuci jendela hati dan juga lensa mataku yang mulai buram agar mampu menatap duniamu dengan lebih jernih dan memahaminya, tanpa prasangka bahwa engkau sengaja meninggalkanku atau menghukumku. Ah, tak mungkin engkau setega itu padaku. Kalau bukan padamu Sang Kekasih aku bersandar, pada siapa lagi?

The Island, Feb. 22, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar