Senin, 15 Maret 2010

Menunggu WH dan DSI DIbubarkan Untuk Kehormatan Islam di Aceh

PRASANGKA berbahaya. Tampaknya, saat WH keluar kantor untuk berpatroli, pikiran mereka telah dipenuhi prasangka bahwa wanita yang naas mesti berurusan dengan mereka adalah wanita tidak baik. Padahal nabi melarang menuduh perempuan baik-baik sebagai penzina. Prasangka itu dipicu oleh keinginan WH disebut berkerja dan hebat agar terus bisa bekerja di sana, cari nama dan nafkah atas menciptakan aib orang lain.

Sehingga bila orang kebetulan sedang bersama lawan jenis, WH yang diduga memang dilatih untuk jadi pencuriga menganggap itu berarti ada hubungan special, padahal bisa saja mahasiswi diantar oleh teman sekampus karena hari sudah larut malam, angkutan gak ada lagi. Pencuriga itu seharusnya mengerti dan belajar bahwa perempuan dan lelaki yang jalan bersama, tidak selalu mesti diasumsikan memiliki hubungan khusus. Kesalahan asumsi yang mencerminkan WH tidak cerdas emosional mengakibatkan hubungan persahabatan tak bisa diterima di nanggroe.

Zaman sekarang, tidak mungkin lagi kita berharap muhrim kita bersedia mengawal kita 24 jam, menemani dan mengantarkan kita kemana-mana. Wanita sudah lebih mandiri, anak-anak pun begitu, sudah terbiasa pergi kemana-mana sendiri. Jadi kalau ditanya muhrim atau bukan, di zaman dimana kita berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai kalangan, akan membuat WH disebut hidup di zaman yang salah.

Sebagai perbandingan lagi, bagaimana saat kita pulang diantar teman, kebetulan melewati jalan yang belum ada listriknya, langsung distop dianggap khalwat? Celaka dua belas kan? Prasangka buruk itu telah memperburuk citra Islam.

Yang gawatnya, begitu kepergok, langsung diminta buku nikah, alasannya jalan berdua dengan bukan muhrim. Ini juga tidak adil. Yang di angkutan umum, bersebelahan, bergesekan paha karena berdesakan, kenapa tidak dimintai buku nikah juga? Atau yang nongkrong di cafe-cafe. Atau di restorant hotel-hotel mewah. Ini ketimpangan, hukum hanya berlaku pada orang-orang yang memang sengaja dijadikan target oleh WH.

Terus, lihat juga dong tempat melalukan razia. Terutama tempat umum yang merupakan objek wisata. Tidak mungkin berharap orang yang berkunjung mesti muhrim. Seharusnya WH pakai akal sehat.

Soal berpakaian juga sepertinya dibesar-besarkan. Ya, kita memang tau menutup aurat itu wajib, tapi tidak perlu sampai diburu-buru di sepanjang jalan. Tidak adil menyalahkan wanita atas setiap kejahatan yang dilakukan laki-laki. Memperkosa karena wanita berpakaian sexy menurut mereka. Atau karena wanita gak pake jilbab. Yang benar, laki-lakinya mesti ditatar bagaimana cara menghormati wanita, dengan atau tanpa jilbab. Bagaimana kalau laki-laki aceh ke luar aceh? Habis semua diperkosa setiap wanita yang ditemui di jalan kayaknya, karena tidak kuat iman. Tampaknya penerapan syariat di Aceh sengaja dibesar-besarkan dan diselewengkan.

Kita diberikan kebebasan untuk mengatur Nanggroe atas nama syariat karena kita saat itu minta merdeka. Itu permen yang meninabobokan. Seharusnya setelah Mou Helsinki diteken, kita berhak merombak kebijakan yang berlaku sebelumnya, masih pantas atau enggak diterapkan, lihat situasi zaman.

Pendapat saya pribadi, Qanun SI itu melecehkan orang aceh di mata dunia. Seakan-akan orang aceh bejat sekali. Seolah pelajar dan mahasiswa kita berpesta di akhir pekan dan berakhir dengan free sex. Di setiap sekolah atau kampus ada ratusan wanita yang hamil di luar nikah. Di komplek perumahan tukar pasangan sudah lazim. Di setiap sudut jalan remang, terjadi transaksi sex. Penculikan wanita dan pemerkosaan sudah jadi santapan sehari-hari. Kadang beranda mesjid juga dipakai tuk pesta sex, sehingga dibuatlah aturan hukum yang mengikat dan mengatur bagaimana seseorang (terutama wanita) harus menjalani hidup di aceh.

Syariat Islam itu bagus, itu gak bantah, tapi penerapannya yang salah. Agama sudah dijadikan komoditas politik. Kita menjual agama sebenarnya. Mengatasnamakan agama untuk melegalkan produk hukum yang kita buat sendiri. Produk hukum prematur. Yang diterapkan tanpa menjaring aspirasi semua lapisan masyarakat. Sebelum diterapkan, lihat dulu dong keadaan di lapangan bagaimana. Masyarakat kita belum mapan, baru bangun setelah dicabut DOM dan disapu oleh gelombang tsunami. Hukum hanya bisa diterapkan setelah masyarakat kita siap. Siapkan fondasinya dulu. Kalau mau sorot masalah pakaian, bagikan rok minimal 2 stel untuk setiap wanita. Tapi rok tidak efektif juga sebenarnya, saat naik becak atau kendaraan, betis jadi tersingkap sampai lutut. Kemudian pembinaan aqidah, adakan pengajian atau baca kitab di setiap meunasah atau sekolah yang dipandu oleh petugas WH. Mampu gak?

Harus ada evaluasi, apakah program itu berhasil. Apa tolok ukurnya? Apakah dengan diberlakukannya Qanun SI, kadar keimanan kita bertambah? Atau malah makin lihai untuk main kucing-kucingan dengan WH? Apa sebenarnya yang diharapkan dengan adanya Qanun SI? Menegakkan agama islam? Shalat itu tiang agama, shalat dahulu yang mesti kita kerjakan. Tugaskan WH bertebaran di jalan dan menyerukan kaum adam untuk memenuhi panggilan azan. Laki-laki wajib memenuhi panggilan azan. Nah, itu fondasi, tiang agama, kenapa tidak ada yang peduli? Selama ini hanya berlaku untuk shalat jum'at saja, shalat 5 waktu tidak.

Kemudian, kenapa harus membuat produk hukum yang hanya menjerat rakyat jelata. Mungkin para pejabat yang mendukung Dinas SI untuk proyek sendiri bermesum di luar Aceh. Kenapa tidak ada hukum yang mengatur tentang masalah yang nota bene lebih urgent untuk ditangani di Nanggroe, misalnya korupsi. Itu langsung berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak. Ternyata dengan mengatasnamakan agama, orang bisa menghancurkan agama itu sendiri. Kapan umat lebih bisa memahami tentang ajaran nabinya.

The Island, Jan. 21, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar