Senin, 15 Maret 2010

Sepucuk Surat Dari Jepang

Aku sedang asik mendengarkan kisah perjalan temanku yang baru pulang dari sebuah sungai di daerah Sigli saat pak pos memasuki pekarangan rumahku. Aku jarang menerima surat, kecuali tagihan kartu kredit yang rutin kuterima setiap bulannya. Tagihan premi asuransi jiwa. Aku mengasuransikan diriku karena cemas tiba-tiba terbunuh dalam keadaan carut marut perpolitikan di negaraku yang membuatku bingung. Membela HAM sama buruknya dengan melanggar HAM, dan begitu banyak aktivis pembela HAM yang hilang diculik atau terbunuh. Di benakku, nasibku akan berakhir tragis seperti almarhum Munir. Dalam hitungan detik, kawan bisa berubah menjadi lawan yang menikammu dari semua arah mata angin, tanpa pernah peduli engkau siap atau tidak. Persis malaikat kematian yang datang tanpa pesan dan pamit pada orang-orang terkasih dalam dinginnya tubuh bekumu. Jadi kuselipi duniaku dengan premi asuransi, dan kuselipi akhiratku dengan doa tahajjud singkat yang mengurai air mata. Yang jelas itu bukan air mata buaya, karena buaya tak diperhitungkan di akhirat kelak. Apalagi cicak yang lebih kecil dan lebih lemah dari buaya.

Penuh harap cemas kutelusuri rekaman jejak pena di atas amplop berbingkai garis merah biru itu. Tulisan tangan bertinta hitam yang khas, dengan namaku dan negaraku digaris bawahi, demikian juga dengan negara asal dan namanya. Sembilan belas tahun aku mengenalnya, belum pernah sekalipun ia mengirimiku surat yang bertinta biru. Mungkin ia tak menyukai warna itu, dan akupun tak peduli seandainya ia menulis surat dengan tinta bewarna pelangi, asalkan aku dapat memahami isinya. Wadah tak penting, yang penting adalah isinya menurutku. Pakaian takkan mengubah watak orang yang memakainya. Engkau takkan menjadi seorang jenderal hanya karena engkau memakai pakaiannya yang ia sampirkan di tali jemuran rumahnya. Kerang dalam cangkang yang buruk rupapun menyimpan mutiara di dalamnya. Yang kau lihat hanya seonggok keping yang tak berguna, karena kau tak mengetahui kilau yang tersembunyi didalam rongga lunaknya. Ah, mahkluk lemah yang berharga, yang menebalkan kocek-kocek pengusaha yang jeli melihat peluang investasi.

2010.1.11

Dear Nadine,

Thank you very much for your letter. To my surprise, this letter was posted in Japan. I thought Nadine had come to Japan.

Tentu saja dia kaget, surat itu kutitipkan pada temanku yang telah selesai masa tugasnya di Aceh, dari Japanese Red Cross Society. Aku terlibat dalam kegiatan penanaman bakau berdasarkan partisipasi masyarakat lokal di daerah pantai yang diterjang gelombang tsunami. Dan temanku, si wanita bertubuh kurus tinggi langsing berkulit putih susu yang selalu mengakhiri pembicaraan dengan anggukan kepalanya itu pun terbang kembali ke negara sakura yang aku sendiri belum sempat menikmati keindahannya secara langsung, dalam tamparan angin dingin bulan Desember di kaca jendela pesawat.

Aku belum pernah ke sana, kedua orangtuaku melarangnya. Mereka takut aku tidak kembali setelah liburan singkat yang ditawarkan oleh keluarga angkatku, pasutri yang tidak pernah memiliki anak sampai usia senja menjemput mereka. Bagi mereka, akulah putri tunggal mereka. Kekuatiran orangtuaku beralasan, karena ayah angkatku bermaksud menjodohkan aku dengan keponakannya. Kami terbentur masalah keyakinan. Aku berasal dari keluarga ulama. Mereka beragama Shinto. Aku bersyukur orangtuaku menolak rencana pernikahan itu, karena aku tak dapat membayangkan bagaimana aku harus menjalani hidup di Jepang. Aku benci seafood. Hidangan utama yang kusantap saat bertemu ayah angkatku terdiri dari berbagai macam jenis mahluk penghuni lautan, yang selama ini hanya suka kugambar saat mendapat tugas dari guru biologi sekolahku dari pada kutelan. Hidangan pembuka adalah nori, sejenis rumput laut yang langsung kumuntahkan begitu bersentuhan dengan lidah Acehku. Saat pulang dari perjamuan makan malam, tas tanganku penuh sesak berjejalan dengan gumpalan-gumpalan tissue dan mahluk laut malang yang singgah sebentar di mulutku untuk kubuang kembali di tengah jalan, menjadi santapan kucing-kucing kampung liar yang kelaparan.

I am sorry that I haven't written for long time on account of my age. I am relived to hear that you have gotten a good job and have lived in the island with children. Congratulations!

Saat pertama kami bertemu, usianya berpacu mendekati angka 70. Kami rutin saling mengabarkan keadaan diri dan keluarga melalui surat. Pertemuan itu terjadi di pertengahan tahun 1991, saat aku sedang beristirahat di tepi jalan bersama adik ayahku setelah mengikuti gerak jalan santai yang diadakan oleh Pemerintah Kota. Aku tak tau apa yang menariknya untuk mendekatiku, terpatah-patah mengucapkan salam dalam Bahasa Indonesia, meminta izin untuk memotretku, --hanya diriku, diatara ratusan orang yang menyesaki tempat itu,-- kemudian dengan isyarat tangan memintaku menuliskan alamat di buku notesnya. Itu lucu, karena ia hanya mampu berbahasa Inggris dalam bentuk tulisan. Jadi kami berkomunikasi dengan saling menyodorkan buku notes masing-masing, dalam Bahasa Inggris.

Ia rutin mengirimiku surat dan bingkisan. Apapun yang sedang trend di kalangan muda-mudi Jepang, akan dipaketkan untukku. Aku boleh meminta apa saja, selama sanggup, selalu dipenuhinya permintaanku. Aku jarang meminta, biasanya ia yang selalu membanjiriku dengan hadiah. Tapi saat aku meminta, jidatnya spontan berkerut. Aku meminta Cokelat dan Sake, minuman khas negaranya. Dan aku harus berdebat panjang mengapa aku menginginkan minuman itu. Aku hanya ingin tau bagaimana rupa dan rasanya. Coklat dan Sake itu diantarkan langsung ke rumahku. Coklatnya sudah meleleh akibat perubahan suhu selama perjalanan jauh, dan Sake itu berakhir dalam pot bunga. Aku tak suka. Baunya keras seperti air tape, dan cairan itu tak dapat melalui kerongkonganku karena sensor lidahku menolaknya. Aku mengulumnya beberapa saat dalam mulutku sebelum kujadikan air untuk menyirami pohon kaktus ibu kosku. Setelah kejadian itu, aku tak pernah meminta apapun lagi, kecuali nasehat. Ia selalu memberikan dukungan kepadaku dalam setiap situasi, mengajarkan aku untuk menjadi wanita yang kuat dan mandiri. Ia senang karena aku tak bergantung pada siapapun. "Terimalah pekerjaan apapun yang halal, walaupun upahnya tak sebesar yang kita harapkan. Jangan banyak mengeluh dan merasa diri lemah. Wanita memang lemah, tapi seorang ibu diciptakan kuat untuk mengasuh anak-anaknya. Banyaklah belajar, dari pengalaman hidup, dari pengalaman orang lain, dan dari buku-buku yang kau baca."

Aku kembali menelurusuri barisan kalimat selanjutnya.

My old friends who traveled to your island with me passed away almost. I can't travel alone. Now everyday I spend time in walking or reading. Sometime I look the album and indulge in reminiscence. Exchanging letters made lots of happy memories for me but it is difficult to continue that.. I'm too old. I would like to stop exchanging letter. Thank you very much for long time letter and happy memories (you gave me). I hope you and your family will be happy. From your friend. Kunio Onuki.

Mereka datang kemari berkelompok, sekitar 12 orang. Rutin setiap dua tahun sekali. Mengunjungi makam tentara Jepang yang tewas di pulauku yang terpecil. Semuanya sebaya. Bepergian secara berkelompok seperti itu bagus menurutku, jadi mereka bisa saling mengawasi dan bebas bertukar kenangan lama yang tak pernah basi untuk diulas kembali. Anggota rombongan yang datang makin lama makin berkurang jumlahnya karena faktor usia dan akhirnya berhenti sama sekali. Terakhir mereka datang ke Aceh tahun 1998. Dan surat yang sedang kubaca saat ini merupakan surat terakhir darinya. Tak terasa, 19 tahun telah berlalu dari saat pertama kami bersama menatap teluk dari atas bukit. Itu yang pertama sekaligus yang terakhir. Kini hanya tinggal sepenggal kenangan...

The Island, Jan 22nd, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar