Jumat, 08 Januari 2010

Bersamamu

Tiba-tiba aku tersentak teringat padamu. Aku tak dapat menjelaskannya, tapi aku dapat merasakan kesendirianmu. Kuraih hpku, kukirim pesan singkat padamu. Bagaimana kabarmu setelah dua tahun kita berpisah, Hon? Kau masih tetap sendiri, seperti juga aku.

“Honest, sampai saat ini aku tak dapat menemukan orang seperti dirimu, Hon” begitu katamu. Aku merasa tersanjung, melayang-layang. Bobot 80 kiloku terasa seringan bulu angsa saat itu. Seolah berada di bumi tak bergravitasi. Ingin kubalas dengan kalimat “Menikahlah denganku,” tapi gerakan jemariku terhenti di udara. Kalimat itu akan memicu pertengkaran panjang dan sengit seperti dua tahun yang lalu.

“Impossible,” itu katamu.

“Kenapa?” sahutku cepat dan tajam tanpa dosa.

“Pertama, statusmu janda.”

“Kedua, usiamu delapan tahun di atasku.”

“Ketiga, aku tak tahan dicibirkan orang, aku ingin hidup normal seperti orang lain, Hon.”

Dadaku naik turun menahan emosi. Sayangnya dadaku bukan ketel uap yang mengeluarkan bunyi melengking panjang saat airnya mendidih. Tak ada juga asap yang mengepul dari daun telingaku.

“Keberatan, aku tak terima,” sahutku keras kepala. Persis pengacara yang sedang membela pesakitan, dan saat ini yang sedang menjadi pesakitan adalah diriku sendiri. Kami berperan rangkap. Pesakitan, Pengacara, sekaligus Hakim. Kami sedang menghakimi diri kami sendiri.

“Pertama, nabimu punya istri sembilan orang. Istri pertamanya janda, selisih usianya lima belas tahun. Muhammad manusia pilihan Allah, kenapa Allah tak memberikan perawan yang usianya lebih muda sebagai istri pertama Muhammad? Apa beda Khatijah denganku? Kami toh sama-sama janda, dan aku masih muda, Hon.” Aku mencoba mematahkan serangannya.

“Kedua, ayat mana dalam Al-Qur’an atau hadist mana yang mengharamkan bujangan menikah dengan wanita yang usianya lebih tua? Mana? Coba kau tunjukkan padaku.” Nada suaraku naik tiga oktaf.

“Ketiga, peduli setan dengan orang lain, Hon. Ini hidup kita, kita berhak menentukan apa yang kita mau dalam hidup. Hidup cuma satu kali, Hon. Orang punya jalan hidup masing-masing, gak berhak protes apa yang kita lakukan, karena ini tanggung jawab kita dengan Tuhan. Aku hanya ingin menikah, Hon. Itu sah, halal. Kenapa orang-orang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhannya? Sebagai manusia yang mengaku umat Muhammad, seharusnya engkau merasa malu,” sahutku sengit.

Jeda panjang, lalu…

“Baik, sejak tadi aku menahan amarah,” sahutmu. “Jika begitu sikapmu, kita sudahi saja hubungan kita sampai di sini. Aku menyediakan bahuku untuk kau menangis, aku sediakan hatiku untuk kau berbagi rasa, tapi menikah? Oh tuhan, Honey, lupakan itu. Aku tak ingin dikucilkan oleh keluarga besarku. Tak pernah dalam sejarah keluargaku, ada yang menikah dengan janda. Aku pasti dianggap gila. Belum lagi dicibirkan oleh teman-teman, semua orang yang mengenal kita. Aku tak sanggup, Honey.” Suaranya terdengar dingin.

“Sebentar, teman sekantor kita juga menikah dengan wanita yang usianya lebih tua, tujuh tahun di atasnya, dan mereka baik-baik saja,” balasku.

“Honey, tolong jangan desak aku. Dia sanggup hidup seperti itu. Aku tak sanggup seumur hidup digosipin orang. Jangan keras kepala, Hon," balasnya tak sabar.

“Tapi Hon, dirimu pernah berjanji, engkau akan menikahiku sebelum engkau menikah dengan orang lain,” isakku. "Aku tak pernah melarangmu untuk menikah dengan orang lain kelak, dengan wanita yang bisa dirimu bawa pulang ke tengah keluarga besarmu. Yang dapat dirimu pamerkan kemana-mana. Bagiku cukup dirimu, aku tak menikah dengan keluarga besarmu, Hon. Aku tak bermimpi hidup di tengah-tengah mereka, walaupun keluarga kita saling kenal." Keluarganya belajar ilmu agama pada kakekku bertahun-tahun yang lalu. Itu sejarah masa silam, waktu terus berjalan, dan sekarang sang waktu menghampiri kami, aku dan dia. Kami berada di persimpangan jalan, sedang sepakat apakah mengambil jalan yang sama atau harus menempuh arah yang berbeda. Aku tak dapat menahan air mataku yang terus mengalir bagaikan bendungan jebol akibat diterjang peluru pesawat tempur yang salah sasaran.

“Aku minta maaf, Hon. Saat itu aku masih muda, masih naïf. Sekarang aku telah lebih dewasa, dan aku tetap pada pendirianku,” balasnya membela diri. Mencuci diri bersih-bersih, pikirku.

“Bagiku dirimu kekanak-kanakan, Hon. Dirimu setahun yang lalu jauh lebih dewasa daripada dirimu yang sekarang. Demi Tuhan, Honey, dirimu telah berjanji padaku, akan selalu mencintaiku, dirimu berkata bahwa kita akan selalu bersama, sampai ajal memisahkan kita. Aku tak menuntut banyak Hon, aku tak menuntut rumah, aku tak menuntut harta, aku hanya mau dirimu, hanya dirimu, Hon. Itu saja. Lain tidak. Apakah aku yang gila, tapi aku yakin dirimu pernah mengatakan itu langsung padaku, dan dirimu juga mengirimkan sms padaku,” aku masih mencoba bertahan, mengeluarkan dalil kebenaran, satu persatu. Janjinya, ucapannya, smsnya.

“Dirimu tak punya bukti apapun, Honey. Hpmu hilang, dan sms itu lenyap bersamanya. Jadi dirimu tak punya bukti apapun untuk menuntutku di hadapan keluargaku, walaupun aku memang pernah berjanji demikian.” Aku merasa bagaikan orang yang baru dilindas truk tronton. Sesak, hancur. Jiwaku melayang meninggalkan jasadku yang tak berbentuk. Aku mengucapkan belasungkawa kepada diriku sendiri.

Hening yang panjang, terpanjang dalam hidupku….

“Lupakan aku Hon, kalau dirimu benar-benar sayang padaku, lupakan aku. Lupakan cinta kita. Cobalah buka pintu hatimu buat laki-laki lain. Carilah laki-laki yang sebaya dengan dirimu, atau yang lebih tua. Yang mapan. Yang bisa menjadi ayah bagi anak-anakmu. Aku tak bisa Hon, aku tak sanggup, tolong jangan paksa aku. Cintamu sangat besar, melebihi cinta yang dapat kuberikan padamu. Cinta kita tak seimbang, jadi kita tak bisa bersama.” Nada suaranya terdengar putus asa.

"Bullshit, klise, terlalu mengada-ngada. Bagaimana aku dapat membuka pintu hatiku terhadap laki-laki lain bila dirimu yang memegang kunci pintu hatiku?" aku membatin. Perasaanku bercampur aduk. Antara cinta, marah, dan rasa sakit. Tak percaya kekasih hatiku pujaan hatiku telah mengkhianati cinta yang telah kami ikrarkan berdua. Janji sehidup semati ala Romeo dan Julliet. Ingin aku memaki, tapi kutahan lidahku untuk tak mengucapkan sumpah serapah. Tapi seandainya saat itu dia berdiri tepat di hadapanku, aku tak tahu apakah aku sanggup menahan gerakan tanganku untuk tak menampar wajah malaikatnya. Aku belum pernah menampar orang seumur hidupku. Aku benci kekerasan. Aku cinta damai.

“Aku pernah menikah dengan laki-laki yang usianya tujuh tahun di atasku, Hon. Anak-anakku punya ayah biologis, tapi aku tak bahagia. Dia tak mencintaiku. Dia mengkhianatiku dan anak-anakku. Dia menelantarkan kami semua. Aku tak butuh pria lebih tua yang mapan, aku butuh cinta. Aku butuh dihargai. Aku butuh orang yang mengerti aku. Tolong jangan lakukan ini terhadap kita, Hon.” Aku belum pernah memohon kepada manusia manapun sepanjang sejarah hidupku, dan hari ini aku memohon padanya seperti makhluk yang memohon kepada Tuhannya agar tak mencabut nyawanya.

“Keras kepala! Hentikan tangismu. Aku benci mendengarkan wanita menangis di telpon. Itu sudah menjadi keputusanku. Selama ini aku telah mencoba melupakan cintaku padamu. Aku mengosongkan hatiku dari namamu, agar aku dapat memasukkan wanita lain ke dalamnya. Hubungan kita seperti bayang-bayang tak berujung. Mau sampai kapan kita terus begini. Aku letih.” Dan percakapan itu, dan hidupku berhenti pada detik itu.

Perdebatan kami akhirnya selalu kembali ke kalimat pertama, "Menikahlah denganku, Hon. Agar hubungan kita berujung." Seperti lingkaran setan, tak tahu mana pangkal mana ujung. Kami bermain di atas papan catur kehidupan dengan pola yang sama.


The Island, 9 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar